Banyak tokoh nasional hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
pernah mengenakan kemeja terbuat kain tenun Donggala saat berkunjung ke
Sulawesi Tengah.
Itu membuktikan bahwa kain tradisional dari Kabupaten Donggala itu
telah dikenal secara nasional meski namanya tidak seharum batik yang
telah ditetapkan menjadi kain busana nasional.
Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Ny Herawati Boediono
saat berkunjung ke Kota Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah, April 2010, juga
memuji keindahan kain tenun Donggala.
Ny Herawati Boediono saat melihat proses pembuatan tenun Donggala mengaku prosesnya terbilang rumit.
Ia berharap kain tenun Donggala dapat dijaga keberadaannya sebagai salah satu simbol kebudayaan Sulawesi Tengah.
Kain tenun Donggala telah ada sejak ratusan tahun silam. Kain yang
dibuat dari mesin tenun sederhana itu memiliki motif beragam, antara
lain motif bunga mawar, bunga anyelir, buya bomba subi kumbaja, bunga
subi, kombinasi bunga subi dan bomba, buya bomba, dan buya subi kumbaja.
Nursalim, seorang pengrajin tenun asal Desa Watusampu, Kabupaten
Donggala, mengatakan dahulu, kain atau sarung Donggala hanya boleh
dikenakan pada acara perkawinan, sunatan dan upacara-upacara adat.
Bahkan, pada motif-motif tertentu seperti palaekat hanya boleh dikenakan raja atau kaum bangsawan.
Seiring perkembangan zaman, kain tenun Donggala banyak dimiliki oleh masyarakat umum dalam berbagai kesempatan resmi.
Untuk melestarikan kain tradisional ini, Pemerintah Kabupaten Donggala telah memiliki hak paten kain tenun Donggala.
Bahkan para pegawai negeri sipil (PNS) di kabupaten tertua di
Sulawesi Tengah itu juga diwajibkan memakai tenun Donggala setiap akhir
pekan.
Sejumlah tempat di kabupaten Donggala menjadi pusat pengrajin kain
tersebut, seperti Desa Towale dan Watusampu di Kecamatan Banawa yang
berjarak 40 kilometer dari Kota Palu.
Di pusat pengrajin itu terdapat ibu-ibu rumah tangga sedang menenun
kain dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) terbuat dari kayu berukuran 2 x
1 meter.
ATBM itu dipenuhi dengan lilitan benang aneka warba. Cara
menggerakkannya pun dilakukan dengan kaki yang menginjak pedal-pedal
dari kayu, layaknya sedang mengayuh pedal mesin jahit.
Alat itu juga menggunakan sisir besi yang ada sejak turun-temurun.
Selain kain tenun Donggala, para penenun juga menghasilkan sarung Donggala dengan panjang dua meter dan lebar 60 centimeter.
Rata-rata para pengrajin itu membuat kain tenun dengan panjang mencapai empat meter.
Di Kota Palu juga terdapat pengrajin kain tenun Donggala yang sebagian besar berada di Jalan Mangga, Kecamatan Palu Barat.
Hadi, pedagang kain tenun Donggala, di Kota Palu mengatakan
masyarakat minat masyarakat bertambah karena coraknya yang makin
beragam.
“Kami berupaya selalu membuat motif tenun yang beragam sehingga
konsumen terus menyukainya,” kata Hadi yang juga memiliki toko di Jalan
Mangga.
Hadi yang juga pembuat kain tradisional ini mengatakan corak kain
tenun Donggala sebelumnya kurang beragam sehingga kurang mendapat tempat
di hati calon konsumen.
Menurutnya, kain tenun Donggala harus dilestarikan agar tetap ada dan dibanggakan oleh masyarakat Sulawesi Tengah.
“Meski banyak motif modern yang penting tidak meninggalkan kesan
tradisionalnya,” kata Hadi yang mendapat ilmu membuat kain tenun
Donggala dari kedua orangtuanya.
Ia menyebutkan harga kain tenun Donggala beragam, mulai Rp300.000,00
hingga Rp700.000,00 tergantung tingkat kesulitan pembuatannya.
Satu lembar kain Donggala bisa dibuat selama satu bulan. Jika
motifnya sulit, bisa membutuhkan pengerjaan selama hingga dua bulan.
Hadi sendiri mengaku sudah menjadi pengrajin kain tenun Donggala sejak 1982. Dia meneruskan usaha orangtuanya.
Hadi mengaku, kainnya terjual sebanyak enam hingga delapan lembar per bulan kepada pembeli yang biasanya berasal dari luar kota.
Kain tenun Donggala sering dipamerkan dalam ajang promosi baik di kota-kota besar di Indonesia hingga ke luar negeri.
Pemerintah Sulawesi Tengah sendiri menjadikan kain tenun Donggala
sebagai salah satu suvenir wajib untuk tamu pemerintahan, seperti
menteri, gubernur hingga Presiden SBY pernah mendapat hadiah kain tenun
Donggala.
Khas Sulawesi Tengah
Di Sulawesi Tengah sendiri terdapat sejumlah kain tradisional yang
juga menjadi warisan budaya dan bisa menjadi cindera mata istimewa.
Kain tradisonal itu, antara lain batik bomba, kain kulit kayu, dan kain adat Mbesa yang terbuat dari serat buah nanas.
Batik Bomba adalah kain khas Kota Palu. Batik ini memiliki beragam
motif. Motif paling banyak disenangi konsumen adalah bunga cengkeh dan
sambulugana.
Sementara kain kulit kayu berasal dari Kabupaten Sigi itu terbuat
dari kulit pohon Beringin (ficus benjamina) dan pohon Malo (ficus sp).
Kulit kayu sepanjang sekitar 1,5 meter dan lebar 10 centimeter itu
dipukul-pukul dengan alat pemukul yang dalam bahasa setempat disebut
batu ike secara merata di atas papan kayu.
Setelah mencapai lebar yang diinginkan, kain tersebut dikeringkan
dengan cara diangin-anginkan. “Kalau kena sinar matahari langsung, maka
akan cepat rusak,” kata Farida, pengrajin kain kulit kayu asal Desa
Pandere, Kabupaten Sigi.
Kain kulit kayu biasanya dibuat baju lengan pendek, celana pendek, serta penutup kepala.
Pakaian kulit kayu itu pada umumnya berwarna coklat, sesuai aslinya,
dan tidak bermotif. Sebagian lainnya berwarna hitam karena direndam
lumpur hitam selama beberapa hari.
Farida mengatakan, kain kulit kayu 2×1 meter dihargai Rp200 ribu, sedangkan pakaian yang sudah jadi dihargai Rp100 ribu.
Kain itu tidak diperuntukkan untuk busana sehari-hari, hanya untuk upacara adat dan menyambut tamu.
Selanjutnya, kain Mbesa yang terbuat dari serat buah nanas. Kain ini biasanya bermotif orang-orangan dan tumpal.
Kain yang berasal dari Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, ini
dieruntukkan acara adat seperti upacara tanggal gigi dan upacara
menyambut kelahiran anak.
Dari beragam kain tradisional itu, kain tenun seolah menjadi primadona bagi para pencari oleh-oleh dari Sulawesi Tengah.
Pemerintah Sulawesi Tengah sendiri terus berupaya untuk meningkatkan
pengenalan dan pemasaran kain tenun Donggala di tengah gempuran batik
yang tidak pernah surut.
Bahkan kain batik sangat mudah ditemui di pelosok-pelosok daerah di
provinsi ini, harganya pun lebih murah. Selembar kain tenun Donggala
bisa untuk membeli 10 lembar kain batik.
Ini harus dipikirkan pemerintah setempat jika kain tenun Donggala
ingin dikenal secara nasional atau internasional, seperti batik. Selamat
Hari batik nasional. (Oleh Riski Maruto, www.kompas.com) – Foto: www.detik.travel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar